Melawan Sinisme Proklamator Hatta, Korupsi sebagai Budaya
Shofwan Karim - Dosen/Assoc. Prof/Lektor Kepala Pascasarjana UM SumbarKetua Umum Yayasan. PiusatKebudayaan Minangkabau (YPKM), Ketua PWM dan Dosen Pascasarjana UM Sumbar, Shofwan Karim. Foto/Istimewa
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 04 September 2022 - 10:39 WIB oleh Shofwan Karim dengan judul "Melawan Sinisme Proklamator Hatta, Korupsi sebagai Budaya". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/875615/18/melawan-sinisme-proklamator-hatta-korupsi-sebagai-budaya-1662260951
Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak iklan, silahkan download aplikasi SINDOnews.
- Android:https://sin.do/u/android
- iOS:https://sin.do/u/ios
Melawan Sinisme Proklamator Hatta, Korupsi sebagai Budaya
Oleh Shofwan Karim Minggu, 04 September 2022 - 10:39 WIB views: 9.576
Ketua Umum Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau (YPKM) dan Ketua PWM dan Dosen Pascasarjana UM Sumbar, Shofwan Karim.
SUDAH lama wacana kebudayaan terpinggirkan. Keadaan itu semakin hari tergusur oleh riuh-rendah wancana politik dan sarut marut ekonomi global, regional, dan nasional. Meskipun politik dan ekonomi menurut para antropolog termasuk di antara unsur-unsur universal kebudayaan, tetapi wacana kedua frasa itu tidak menyentuh kepada defnisi filosofis kebudayaan yang merupakan repleksi budi dan daya.
Selama ini, definisi politik dan ekonomi lebih kepada definisi teknis-eksekusi-operasional. Apakah politik dan ekonomi kita pada beberapa kurun waktu dan dekade-dekade terakhir ini berbasis kebudayaan? Pertanyaan yang agaknya aneh bagi para politisi dan pelaku ekonomi di negeri ini.
Bahkan sejak hampir dua bulan terakhir, wacana kebudayaan lenyap karena isu kasus pembunuhan Brigadir J dan subsidi pemerintah yang tinggi untuk rakyat. Di tengah keadaan itu, Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau bekerja sama dengan Pemprov Sumbar dan DPD RI berhajat untuk melaksanakan Kongres Kebudayaan.
Sebagai agenda Pra-Kongres, pada 9 Agustus lalu sudah dilaksanakan acara Peluncuran Kongres dimaksud di sebuah hotel di Padang. Irman Gusman, Musliar Kasim, Nursyirwan Efendi, Insanul Kamil dan Gubernur Sumbar menyampaikan beberapa pemikiran tentang pentingnya Kongres Kebudayaan ini.
Selanjutnya, pada Senin 5 September ini dilaksanakan Seminar Hasil Survei Persepsi Masyarakat tentang Makna Kebudayaan di Indonesia di Padang. Agenda ini merupakan prelimeneri atau awal Pra-Kongres di samping dua agenda lain: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar dan Revitalisasi, Rekonstruksi (?) Adat dan Budaya Minangkabau yang akan menjadi agenda Pra-Kongres berikutnya.
Kembali kepada survei, giat ini dilaksanakan pada 13 sampai 29 Maret 2022 lalu. Hanya karena hal-hal teknis, survei yang digagas tahun lalu itu sebelum nanti Kongres Kebudayaan ditayangseminarkan pekan ini.
Akan menjadi pembahas di antaranya Dr Yudi Latif, seorang penulis produktif mantan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila yang "dinobatkan" sebagai pemikir kenegaraan dan kebudayaan.
Pembahas kedua adalah Prof. Dr. Nursyirwan, Antropolog lulusan sebuah Universitas di Jerman, sekarang Direktur Pascasarjana Unand.
Survei dilaksanakan oleh Dr. Asrinaldi dan Tim dari Unand, merangkum beberapa legaran diskusi di YPKM. Terpantik gagasan Musliar Kasim dan Irman Gusman, anggota dan Ketua Pembina YPKM yang menginginkan bahwa Kongres Kebudayaan harus diawali dulu dengan survei tentang seberapa jauh persepsi masyarakat Indonesia tentang kebudayaan.
Hal ini terasa amat penting karena semua sudah merasakan goncangan kebudayaan setelah dunia di haru biru oleh revolusi 4.0 dan 5.0 tekonologi digital dan informasi yang tengah berlangsung sekarang ini. Bagaimana persaingan, sekaligus partnership, kemitraan global, regional dan nasional antar bangsa-bangsa dan internal bangsa di dunia dewasa ini. Wa bil khusus bagi masyarakat Indonesia.
Oleh tim dirumuskan tujuan survei ini meliputi persepsi tentang beberapa hal. Pertama, nilai agama dan kebudayaan yang menjadi akar ideologi Pancasila yang meliputi nilai-nilai ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Kedua, peran dan kedudukan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era revolusi teknologi 4.0.
Ketiga, semangat kemajemukan dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat, respons masyarakat terkait dengan revolusi teknologi 4.0 dan menuju 5.0 serta kesiapan mereka menghadapi perubahan tersebut.
Kelima, mengidentifikasi harapan masyarakat terkait dengan peran dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat itu sendiri, dan pemangku kepentingan bangsa dalam merespons perkembangan zaman yang terus berubah. Tentu saja hasil survei bukan jawaban konkret atas lahirnya peta jalan kebudayaan Indonesia.
Peta jalan itu akan dijawab nanti pada Kongres Kebudayaaan itu sendiri. Hebatnya, tim survei telah mendapatkan skema awal persepsi masyarakat Indonesia secara acak dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangihe sampai ke Pulau Rote.
Disimpulkan dalam 7 tabel persepsi. (1) Persepsi terhadap bebudayaan Indonesia dan lokal; (2) Persepsi terhadap Kebudayaan global; (3) Persepsi terhadap Pancasila sebagai ideologi Bangsa; (4) Persepsi terhadap revolusi 4.0; (5) Persepsi terhadap peran individu dalam pengembangan Kebudayaan; (6) Persepsi terhadap Indonesia emas Tahun 2045; (7) Persepsi terhadap pemahaman budaya generasi muda.
Dr. Asrinaldi dan Tim mengompilasi dari hasil data survei yang mereka lakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum Indeks Persepsi Masyarakat Indonesia tentang Kebudayaan berada pada level yang tinggi sebanyak 54,1%. Ini dapat dimaknai bahwa masyarakat masih menempatkan kebudayaan sebagai variabel yang penting dalam membangun bangsa Indonesia.
Komposisi persepsi masyarakat mengenai kebudayaan Indonesia dan lokal berada pada level sedang, yaitu 4,2 poin. Artinya, eksistensi kebudayaan Indonesia dan lokal masih menjadi perhatian masyarakat. Akan tetapi ditemukan pula hal-hal yang mengkhawatirkan. Di antaranya ada persepsi bahwa nilai-nilai kebudayaan Indonesia mulai tergerus oleh kebudayaan asing (global) dengan indeks 3,86 poin.
Selanjutnya, Indeks Komposisi Persepsi Terhadap Kebudayaan Global cenderung rendah dengan angka 3,84. Meskipun ada pernyataan bahwa budaya global mudah diadopsi dan disesuaikan dengan budaya Indonesia untuk pemajuan kebudayaan Indonesia, namun indeksnya rendah yaitu sebesar 3,62 poin.
Sementara itu terkait dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa, indeksnya berada pada level sedang dengan angka 4,13 poin. Masalah yang mendapat perhatian dari masyarakat karena memiliki indeks rendah adalah perlunya tafsir ulang terhadap sila-sila yang ada di Pancasila. Fenomena ini ditegaskan dengan nilai indeks item sebesar 3,77 poin.
Pada aspek Indeks Komposisi Terkait Persepsi Terhadap Revolusi Teknologi 4.0 berada pada level rendah dengan nilai indeks sebesar 3,93 poin. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada aspek ini.
Pada bagian lain, masyarakat memberi perhatian pada kondisi budaya lokal yang kurang berkembang. Hal itu dapat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia. Indeks item pernyataan ini paling rendah di antara kelompok persepsi ini, yaitu 3,69 poin.
Begitu juga dengan indeks item pernyataan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia Tahun 2045 juga mendapat indeks yang rendah sebesar 3,87 poin. Artinya, dari aspek kebudayaan persepsi yang ditemukan tidak menggembirakan.
Sementara aspek lain yang juga menjadi perhatian publik adalah pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai budaya setempat yang juga perlu mendapat perhatian karena indeks pada pernyataan ini juga rendah dengan angka 3,93 poin.
Tentu saja survei ini akan memberikan kabar baik. Di antaranya bahwa kebudayaan amatlah penting untuk pemajuan kebudayaan. Dan sebagai infrastruktur sudah ada undang-undang tentang kebudayaan nasional.
Pada 27 April 2017, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan legal formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Yang perlu diingat, kekayaan budaya, bukan hanya bersifat material seperti artifak budaya, seni dan budaya tetapi yang amat mendasar adalah kepribadian dan cara berfikir (world-view) serta cara hidup (the way of life) bangsa Indonesia.
Hedonistik, di antaranya yang membuat korupsi merajalela, meski sudah ada Undang-Undang Antikorupsi tetap saja harus dimulai dari kebudayaan. Dengan begitu, sinisme Proklamator Hatta pada 5 dan 6 dekade lalu (Marwata, 2022; Mahfud, MD, 2021) dan bahwa korupsi menjadi budaya, harus terus menerus kita ubah menjadi korupsi adalah potret orang yang tak berbudaya.
Koruptor harus dilawan dan itu yang paling mendasar adalah melalui kebudayaan. Wa Alla a'lam bi al-shawab. (*)
Sumber:
https://nasional.sindonews.com/read/875615/18/melawan-sinisme-proklamator-hatta-korupsi-sebagai-budaya-1662260951?showpage=all. Akses, 20/8/2024. Pk 13.42