Cita-cita Politik dan Pluralisme Mohammad Natsir

Shofwan Karim - Dosen-Lektor Kepala PPs UM Sumbar Cita-cita Politik dan Pluralisme Mohammad Natsir

Cita-cita Politik

dan Pluralisme Mohammad Natsir

Oleh Shofwan Karim

Sejak zaman kelasik sampai era moderen, pemikiran Islam tentang kenegaraan secara teoretis, menurut Munawir Sjadzali (1990) terpilah kepada tiga aliran. Pertama, Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, lebih dari itu Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.

Menurut aliran ini Islam mengandung sistem yang lengkap termasuk sistem kenegaraan dan politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaklah kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, tidak perlu mengikuti sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah apa yang dilaksanakan oleh Nabi Muhmmad dan empat Kulafa al-Rasyidin.

Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Mawardi (975-1058), Ibnu Taimiyah (1263-1328), Rasyid Ridha (1865-1935), Hasan al-Bana (1906-1949) serta Abul A'la Al-Maududi (1903-1979).

Aliran kedua, berpendirian Islam hanyalah agama dalam pengertian Barat yang tidak ada hubungan dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi muhammad saw. hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul lainnya sebagai pembawa risalah untuk mengajak manusia berbudi luhur. Nabi Muhammad tidak pernah dimaksudkan oleh Allah untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara.

Tokoh aliran ini antara lain adalah Ali Abdul Raziq, Thaha Husein di Mesir dan Mustafa Kamal atau Kemal Attaturk di Turki. Merekalah bapak sekularisme Islam yang antara lain sering dipuja-puji oleh para pengikutnya termasuk di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia sampai hari ini.

Aliran ketiga, menolak pendapat aliran pertama dan aliran kedua. Aliran ketiga ini berpendirian bahwa meskipun Islam tidak mengatur sistem kenegaraan yang lengkap, namun Islam mempunyai seperangkat nilai-nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokohnya paling menonjol adalah Mohammad Husein Haikal (lahir 1888) pengarang kitab Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi. Tokoh lain adalah penganut pemikiranini adalahFazlur Rahman (1919-1988). Khusus Fazlur Rahman bahkan menekankan bahwa kekuasaan politik penting untuk melaksanakan kehendak Tuhan serta syariat adalah undang-udang dasar umat Islam .

Sementara itu, apa yang kini menjadi kenyataan pada abad ke-20 dan 21 ini di hanpir 200 negara yang ada di dunia dewasa ini, menurut Ahmad Tafsir (1984) hubungan antara negara dan agama terbagi kepada empat corak.

Pertama, yang paling kiri, ialah negara yang anti agama. Inilah corak negara komunis di Rusia dan Eropa Timur revolusi rakyat awal abad ini sampai negeri-negeri itu hancur berkeping-keping tahun 1990-an. Agama hanyalah candu bagi masyrakat, karena itu harus dibasmi.

Kedua, negara sekuler murni. Model ini adalah memisahkan sama sekali antara negara dan agama; negara tidak mengurusi agama, dan agama pun tidak mengurusi negara. Negara tidak memberikan anggaran sama sekali untuk pembangunan agama. Agama diserahkan kepada masyarakat pemeluknya untuk diurus secara penuh. Contohnya ialah Amerika Serikat. Sementara Gus Dur di Indonesia dewasa ini sedang mencoba mengadopsi pemikiran ini. Apakah berhasil ? Masih ditunggu manifestasinya dalam sejarah moderen Indonesia.

Ketiga, negara sekuler yang masih mengganggap agama penting atau sekuler-beragama. Negara masih mempunyai perhatian kepada pembangunan dan perkembangan agama . Agama berguna bagi negara. Negara yang kuat akan memperkuat agama. Termasuk corak ini agaknya adalah Indonesia di masa Soeharto, Malaysia deawasa ini , Brunai Darussalam dan beberapa negara di Timur Tengah. Keempat, negara agama. Dalam hal ini seperti Pakistan, Iran, dan Saudi Arabia.

Para pemikir dan pemimpin Islam pad akebanyakan negara Islam dewasa ini nampaknya begelut dalam sudut pandang empat corak dan aliran-aliran pemikiran tadi. Tentu dengan segala variasinya, maka apa yang kini menjadi arus utama wacana Islam dan kenegaraan di Indonesia tidak pula lepas sama sekali dari arus utama pemikiran tersebut.

Salah satu di antaranya adalah Mohammad Natsir (1908-1993). Beliau berpendapat bahwa Islam ialah sumber penentangan setiap macam penjajahan, penentangan eksploitasi manusia atas manusia; sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu adalah primair. Maka Islam itu adalah : ( al-din wa al-daulah) agama dan negara.

Walaupun demikian, Mohammad Natsir beranggapan bahwa sistem kenegaraan dan politik Islam tidak harus sama dan sebangun dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin. Juga tidak harus sama dengan kekhalifahan sesudahnya seperti masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, bahkan tidak pula sama dengan apa yang terjadi di masa Safawi, Mughal atau Turki Usmani. Bagi Natsir, Islam menjadi sumber kehidupan negara modern sesuai dengan keadaan zaman, waktu dan tantangan yang dihadapi. Menurut Lance Castle dan Herbert Feith dalam Indonesian Political Thinking: 1945-1965 , cita-cita politik Mohammad Natsir adalah :

Pertama, membebaska manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat), memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.

Kedua, segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada kemusyrikan dan kekufuran.

Ketiga, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang kuatlah yang menang (the survival of the fittest).

Keempat, Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang bebas dari chauvinisme, tirani, dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan kaum Muslimin.

Oleh karena dengan Tauhid, perjuangan tersebut tidak akan pernah menyimpang. Seluruh perjuangan para pemimpin Islam pada hakikatnya bergerak untuk mencapai cita-cita itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Diponegaro, Hasanuddin dan lain-lain.

Kelima, untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan masalah yang dihadapi.

Berdasarkan cita-cita politik yang demikian, maka M. Natsir dengan jelas menolak paham sekularisme dalam bernegara. Ia mengatakan bahwa sekularisme adalah way of life yang berpikirnya, tujuannya, dan karakteristiknya dibatasi oleh tujuan-tujuan keduniaan semata-mata. Tidak ada tujuan kaum sekularis yang lebih jauh dari perkara-perkara keduniaan.

Sekalipun kaum sekularis kadangkala mengakui eksistensi Tuhan, dalam kehidupan sehari-harinya mereka tidak mengakui pentingnya hubungan antara jiwa manusia dengan Tuhan. Apakah hubungan itu dinyatakan dalam tingkah laku keseharian yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan ataupun hubungan kemasyarakatan dalam arti kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kaum sekularis menurut Natsir, menganggap konsep ketuhanan dan agama hanyalah kreasi manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya dan bukan oleh kebenaran wahyu. Bagi mereka, agama dan doktrin-doktrin mengenai eksistensi Tuhan adalah relatif, selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan masyarkat manusia.

Dalam konteks kenegaraan di Indonesia, penting dicatat bahwa pandangan Natsir terhadap Pancasila. Bagi Natsir Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama.

Di dalam Pidatonya di hadapan The Institute of International Affairs 2 April 1952 di Pakistan, salah satu isinya adalah bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran terbaik kaum muslimin Indonesia sambil menegaskan bahwa Ilam tidak mungkin bertabrakan dengan Pancasila karean Islam pada hakikatnya adalah serba sila.

Artinya, Pancasila dalam pemikiran Natsir bukanlah sekularistik, tetapi mengandung aspek Tauhidi. Terutama pada silanya yang pertama yang akan memberi semangat dan jiwa ke dalam sila-sila yang lain. Oleh karena itu bagi Natsir harus ditolak pemahaman sebagian kalangan Indonesia yang salah menafsirkan tentang toleransi keagamaan dalam Islam. Bagi Natsir, dalam naungan Islam semua agama akan dapat menikmati kebebasannya secara penuh. Di dalam Capita Selecta II, Natsir mengemukakan amat pentingnya memelihara kemerdekaan beragama dan menerima sepenuhnya pluralisme agama. Untuk itu perlu ditanamkan ke jiwa dan hati sanubari bangsa ini enam konsep dasar:

Pertama, Tauhid adalah revolusi ruhani yang membebaskan manusia dari kungkungan dan tekanan jiwa yang seluas-luasanya.

Kedua, agama yang sebenar-benarnya agama adalah agama yang sesuai dengan sunnatullah (tauhid). Oleh karena itu, Islam berprinsip: tidak ada paksaan dalam agama;

Ketiga, keimanan adalah karunia Ilahi dan umat Islam diperintahkan untuk memanggil umat manusia dengan seruan yang bijaksana, mujadalah yang sopan, tertib dan bijaksana.

Keempat, perbedaan tentang ibadah dan agama tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang Muslim dalam mencari titik persamaan yang ada di dalam agama-agama itu.

Kelima, umat Islam tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu walupun dari manapun datangnya dalam menegakkan kejernihan hidup antar agama.

Keenam, toleransi Islam bukan bersifat pasif tetapi aktif . "Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain.

Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah sebuah nilai hidup yang lebih tinggi dari pada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan agama tersebut agar manusia dapat secara merdeka menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, dan di mana pun perlu dengan mempertahankan jiwanya." ****

Friday, April 07, 2023 time 14:46:45 (Pernah dimuat di Harian SINGGALANG beberapa waktu lalu)

Komentar Artikel & Tulisan

Artikel & Tulisan Lainnya