Buruknya Politik Transaksional

Buruknya Politik Transaksional

Ditulis khusus untuk www.klikpositif.com/m/kanal/motivasi

Politik, sepertinya menjadi ring tinju. Arena berkuhampas para jawara dan jumawa. Pada awalnya adalah niat baik. Bersama kita bisa. Bisa memikir, merencanakan dan melaksanakan membangun bangsa . Segalanya di awali peristiwa politik. Politik merupakan mantra awal dalam konsep negara demokrasi. Kekuasaan di tangan rakyat. Untuk itu perlu diatur bagaimana tangan rakyat berkuasa .

Aturan itu dimulai dengan konstitusi, undang-undang, peraturan dan ketentuan hukum. Maka sesuai undang-undang dilaksanakan pemilihan umum untuk legislatif dan eksekutif. Sebagai prasyaratnya diwujudkan infra struktur yang disebut Partai Politik. Infra struktur itulah yang pada saatnya membentuk supra struktur yang disebut pemerintahan untuk menyelenggarakan kekuasaaan tadi atas nama rakyat. Caranya dengan sistem demokrasi melalui pemilihan umum (Pemilu).

Pemilu diselenggarakan oleh suatu lembaga bebas yang disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada setiap tingkatan pembagian administrasi pemerintahan. Dibentuk melalui suatu proses transparan, uji layak dan kompetensi oleh satu tim seleksi independen dan kemudian diangkat oleh Pemerintah. Untuk tingkat pusat dengan terlebih dulu dilakukan uji layak DPR RI.

KPU membuat program dalam satu siklus nasional 5 tahunan sesuai masanya itu. Berlanjutlah kehidupan politik praktis. Maka perlombaan pun semakin intensif dan ekstensif. Semuanya berlomba merebut peluang untuk duduk di kursi legislatif (DPR ) sebagai badan perwakilan rakyat pusat, provinsi, kota dan kabupaten,plus (Dewan Perwakilan Daerah/DPD) untuk tingkat nasional-pusat.

Untuk legislative, tidak ada peluang tokoh non-partai. Untuk eksekutif khusus Kota dan Kabupten sesuai undang-undang terbuka pula selain partai juga tokoh indepneden atau perorang dengan syarat dukungan dengan bukti kopian KTP 10 persen dari jumlah pemilih setempat.

Maka secara kasat mata, institusi yang dominan di sini adalah partai politik. Padada sarnya pada setiap Parpol untuk mewujudkan tujan, cita-cita, misi dan misinya tercermin di dalam Platform Partai. Dari situlah dibuat program strategis, progam kerja dan program aksi.

Pada setiap Platform Partai dapat dilihat hendak di bawa kemana Negara ini, apabila partai bersangkutan menang dalam Pemilu dan menjadi penguasa yang syah produk sistem demokrasi yang kita anut. Oleh karena iu, akan kelihatan pada setiap Platform nilai-nila normative-ideal-fundamental dan nilai-nilai praksis-aktual yang dianut partai serta hendak dibawa ke mana Negara ini dalam setiap bidang pembangunan.

Mencakup pembangunan ideologi-politik, hukum, pertahan-keamanan, ekonomi, pendidikan, ke budayaan, kesehatan, dan seterusnya.

Maka secara ideal, apabila setiap warga akan menjadi anggota, pengikut serta memilih partai, baik sebelum atau sewaktu Pemilu, seyogyanya melihat Platform Partai.

Sayang, di dalam aktualisasinya, dewasa ini sebagian besar warga masyarakat memilih partai bukan berdasarkan Platform, tetapi berasarkan tiga hal, yaitu identitasi, pencitraan dan transaksional.

Mereka memilih berdasarkan identitas. Lebih positif kalau identitas itu ada di dalam Platform seperti ideologi yang dianut partai. Selain Pancasila yang setiap partai menganutnya adalah juga keagamaan, nisionalisme, marhenisme, kekaryaan dan pluralism. Tetapi memilih identitas beradasarkan primordialisme, kesukuan, etnisitas, golongan sosial elit dan awam atau mayoritas-minoritas, terasa kurang kondusif dan bahkan negatif.

Begitu pula yang memilih berdasarkan pencitraan. Gebyar iklanisasi orang dan program dapat bermakna positif dan negatif. Bermakna potitif tentu saja bagi tokoh atau partai yang diiklankan. Keduanya dapat menuai populeritas (sangat dikenal oleh para pemilih) sekaligus elektabilitas (keterpilhannya).

Keduanyanya dapat beriringan atau berbarengan tetapi mungkin pula terjadi paradoksal. Yaitu meski populer tetapi orang tak berselera memilihnya. Bila yang diiklankan itu tokoh bermasalah atau moral dan akhlaknya kurang baik. Maka betapapun iklan dan sanjungan media, tidak akan postif. Begitu pula terhadap program yang dijejalkan via iklan dalam media, tetapi tidak menyentuh kepentingan rakyat banuyak, maka iklan itu menjadi kontra produktif.

Apalagi iklan yang terus-menerus tanpa jedda (tenggang waktu), akan menimbulkan kebosanan bagi yang idealis. Sebaliknya bagi yang awam, berlakulah adagium, "katakan seribu kali tentang sesuatu walau itu kebohongan dan pada kali ke seribu satu, sesuatu itu akan dianggap kebenaran"

Kenyataan yang lebih buruk adalah politik transaksional. Politik balas jasa. Ada yang bersifat material seperti jual beli suara. Dengan lembaran uang senilai tertentu, terjadi "serangan fajar". Yaitu memberikan sejumlah uang kepada calon pemilih sebelum atau beberapa waktu menjelang masuk kotak suara. Transaksi material dampaknya buruk kepada pemberi dan penerima. Merusak akhlaknya sendiri dan buruk kepada masyarakat karena yang terpilih adalah orang berduit tetapi tidak cakap dan kualifaid memimpin.

Artau transaksi non-material, misalnya jabatan tertentu disediakan untuk Tim Sukses atau kolega yang memenangkan Pemilihan tersebut. Bila yang terpilih kualifaid dan mengangkat pejabat untuk jabatan tertentu sesuai keahliannya, tetapi tidak menurut jenjang karir apalagi keahlian yang tidak sesuai, maka dampaknya sangat buruk. Banyak terjadi tokoh tertentu yang tidak cocok bidangnya, tiba-tiba menduduki jabatan tertentu karena politik transaksional tadi. Maka nisacaya akan berlaku hadist Rasulullah, "bila diserahkan jabatan kepada tokoh yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancaruan". Maka politik transaksional menjadi titik api. puncak keburukan politik setelah identitas dan pencitraan tadi. Na'u zubillahimin zalik. ***

https://shofwankarim.me/2013/09/

Komentar Berita & Informasi

Berita & Informasi Lainnya